Pertumbuhan permintaan kredit, seperti misalnya mandiri KPR dan kredit dari lembaga keuangan lainnya sangat meningkat. Hal ini dapat menyebabkan overheating kelak, Untuk mencegah overheating ekonomi yang akan melanda Indonesia membuat BI (Bank Indonesia) semakin memperketat peraturan pengambilan kredit oleh para nasabah.
Maret lalu setelah BI mewajibkan loan to value (LTV) kredit kendaraan dan properti maksimal 70%, kini BI akan mengeluarkan larangan penggunaan kredit tanpa agunan (KTA) sebagai uang muka alias down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) setelah melihat beberapa kemungkinan penggunaan kredit tanpa agunan(KTA) untuk down payment.
BI mengindikasikan, ada beberapa bank memberi KTA untuk mengakali keterbatasan debitur memenuhi aturan LTV. Penggunaan pinjaman KTA sebagai down payment KPR tentu saja sangat tidak dianjurkan, karena akan sangat memberatkan nasabah.
Rencana pelarangan penggunaan dana KTA sebagai down payment mendapatkan pro kontra. Menurut Kepala Ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, larangan KTA sebagai uang muka adalah kebijakan tepat. Penggunaan KTA sebagai uang muka kredit akan menambah beban cicilan nasabah. Apalagi bunga KTA cukup tinggi. Sudah begitu, KTA adalah kredit berisiko tinggi karena tak ada jaminan. “Bila terjadi sesuatu, seperti nasabah telat membayar cicilan atau gagal bayar, non performing loan atau kredit bermasalah akan meningkat cepat,” ujar Anton.
Tapi, menurut Pengamat Perbankan, Mochammad Doddy Arifianto, larangan tersebut tidak tepat karena tak mempunyai dasar yang kuat. BI tidak bisa melarang bank menjalankan bisnis, di sisi lain BI memerlukan energi lebih besar untuk menganalisis data nasabah KPR dan KTA. “Larangan ini sulit dilakukan. Bila bank membuat perjanjian dengan nasabah bahwa uang muka bukan dari KTA, malah menjadikan perjanjian tersebut kurang kredibel,” ujarnya.
Doddy menyarankan agar BI menerapkan aturan rasio cicilan utang terhadap pendapatan alias debt to income ratio dalam penyaluran kredit konsumsi seperti kredit properti dan otomotif. Doddy mengusulkan, rasionya maksimal 20%-30%. Jadi bagi nasabah yang cicilannya sudah di atas 20%-30% dari pendapatannya, tidak bisa lagi mengajukan pinjaman untuk membeli properti maupun kendaraan bermotor.
Penerapan kebijakan ini lebih mudah. BI sudah mempunyai Sistem Informasi Debitur (SID) dengan prinsip one obligor, sehingga pinjaman nasabah dari beberapa bank sudah direkap, tinggal meminta slip gaji nasabah dan dihitung persentasenya. “Penerapan rasio cicilan terhadap pendapatan perlu didorong dan dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan kehebohan di masyarakat,” imbuh Doddy.
Tapi tentu saja peraturan ini tidak mudah diterapkan karena bisa saja kreditur mengambil kredit tanpa agunan (KTA) di bank A lalu mengambil kredit kepemilikan rumah (KPR) di bank B.